Selasa, 24 Desember 2013

Laporan Observasi Lapangan RS Ibsi



BLOK BIOETIK                                                                                                               Makassar, 24 Desember 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


LAPORAN INDIVIDU
OBSERVASI LAPANGAN




                   Hari, Tanggal                 : Rabu, 18 Desember 2013
                   Waktu                           : 09.30 – 12.30
                   Tempat                          : Rumah Sakit Ibnu Sina
                   Dosen Pembimbing        : dr. Y

Miss X
11021x0xxx


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2013



Gambaran Umum
            Observasi lapangan dalam lingkungan rumah sakit adalah salah satu kegiatan pembelajaran penting yang perlu dilakukan dalam Blok Bioetik, Humaniora dan Profesionalisme Kedokteran, dengan titik berat pada Humaniora. Observasi ini sendiri adalah kegiatan atau tindakan mengamati sesuatu atau seseorang untuk memperoleh informasi informasi yang dibutuhkan oleh pengamat. Pada kegiatan ini, kami dibagi atas beberapa kelompok yang masing-masing terdiri atas 12 orang yang nantinya akan di tugaskan untuk mengamati kegiatan berbagai rumah sakit yang ada di Makassar, yakni Rumah Sakit Ibnu Sina, Rumah Sakit Khadijah, Klinik Orbita, Puskesmas Tamalate, Puskesmas Tabaringan dan Puskesmas Kassi kassi.
Sebagai salah satu mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia Makassar, saya tentu harus ikut dalam kegiatan ini. Kebetulan observasi yang kelompok saya akan lakukan adalah di Rumah Sakit Ibnu Sina Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo Km. 05 Makassar. Rumah sakit ini berada tepat di depan Universitas Muslim Indonesia dan di samping kantor rektorat universitas. Letaknya yang dekat ini karena, RS ini adalah RS universitas kampus kami.
            Pada hari Selasa, tanggal 17 Desember 2013. Dikarenakan dosen yang seharusnya mengajar tidak bisa datang, kelompok kami yaitu kelompok 2A  kemudian diberikan arahan oleh ketua kelompok untuk langsung menuju ke rumah sakit Ibnu Sina guna melakukan observasi lapangan. Karena sudah mendapatkan izin terebih dahulu, kami pun kemudian langsung menuju rumah sakit Ibnu Sina, dan tiba sekitar pukul 10.00 WITA. Kami tiba di RS bersama dengan kelompok lain yang juga memiliki dosen pembimbing yang sama dengan kami.
Sebelum memulai observasi, kami harus melakukan proses perizinan terlebih dahulu kepada pihak RS, yang diwakilkan oleh surat yang berasal dari Fakultas Kedokteran UMI. Ketika tiba di rumah sakit, ketua kelompok kami kemudian segera melapor dengan menyertakan surat dari fakultas kepada direktur rumah sakit. Sementara ketua kelompok kami melakukan proses perizinan, anggota yang lain termasuk saya, menunggu di ruang tunggu lobi. Saat itu RS cukup ramai, namun semua proses yang ada berlangsung dengan tertib. Beberapa pasien dan keluarga sudah ada yang daritadi mengantri dan menunggu di apotik, petugas dan perawat yang ada pun terlihat cukup sibuk dengan tugas mereka masing-masing.
Setelah ketua kelompok kami datang dari ruang direktur. Kami kemudian bersama – sama menuju ke ruang diklat untuk mengantarkan surat pengantar dari fakultas yang rencananya akan diterima oleh dokter pendamping.
Karena dokter pendamping kami belum datang, kami kemudian membuat janji dan menunggu beberapa menit di depan poliklinik yang berada di lantai dua. Poliklinik yang berada di lantai dua ini terlihat cukup sepi, hanya ada beberapa pasien dan perawat yang beralalu lalang di depan kami. Setelah beberapa menit, dokter pendamping kami kemudian datang dan segera memberikan kami izin. Dokter kemudian meminta bantuan kepada kakak co – ass untuk membantunya memperkenalkan letak dari ruangan – ruangan yang akan kami observasi, yakni Ruang Poliklinik Umum, Ruang Perawatan Aisyah, Ruang IRD dan Ruang Perawatan Aminah. Setelah itu ketua kelompok kemudian mengarahkan kepada kami untuk kembali ke kampus dan menunggu informasi selanjutnya.
Esoknya, pada tanggal 18 Desember 2013 pukul 09.30 WITA kami baru tiba di rumah sakit untuk mulai observasi. Sebelum berpencar menuju ke masing-masing ruangan yang akan diamati, kami membagi terlebih dahulu menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas tiga orang. Setelah itu kami kemudian memisahkan diri menuju ke ruangan yang akan di observasi, kelompok saya  saat itu mendapat bagian untuk melakukan observasi di ruang IRD
Observasi Ruang IRD
Setelah menemukan kelompok, kami kemudian langsung menuju ke arah ruang IRD. Ruangan IRD rumah sakit Ibnu Sina ini terletak dilantai satu dan berada di sisi kanan rumah sakit. Ruang tunggu IRD rumah sakit ini juga berada di depan ruangan pelayanan jamsostek dan berada tidak jauh dengan ruangan pelayanan askes. Adanya ruang pelayanan jamsostek dan askes yang mudah dicapai ini menunjukkan bahwa diterapkannya salah satu kaidah dasar kedokteran atau bioetika yaitu justice, yang memiliki ciri bahwa segala sesuatu harus diberlakukan secara universal, sehingga dalam hal ini pasien terutama yang memiliki ekonomi yang kurang bisa mendapatkan haknya, yakni pelayanan kesehatan.
Pada saat itu kami tidak langsung masuk ke ruangan dan harus menunggu di ruang tunggu terlebih dahulu, karena teman – teman dari kelompok yang lain sudah terlebih dahulu masuk daripada kami, hal ini kami lakukan agar tidak timbul kegaduhan yang bisa mengakibatkan pasien dan keluarga merasa terganggu.
Di ruang tunggu IRD ini hanya ada beberapa keluarga pasien yang sedang  menunggu keluarganya yang sedang diperiksa. Selain itu kebanyakan yang berlalu lalang di pintu IRD  ini adalah perawat dan keluarga pasien yang kebetulan sudah menebus obat keluarga atau rekannya yang sedang di rawat.
            Sambil menunggu, kami kemudian berinisiatif untuk mewawancari salah satu dari keluarga pasien yang sebelumnya telah menunggu di ruang tunggu IRD. Sebelum mewawancarai kami meminta izin terlebih dahulu kemudian memperkenalkan diri, ia pun dengan ramah menyanggupi dan kemudian menjawab pertanyaan kami.
Kami yang sudah daritadi melihat Ibu S telah menunggu membuat kami segera menanyakan berapa lama waktu beliau menunggu. Ibu S kemudian menjawab bahwa ia telah menunggu mertuanya yang sedang diperiksa oleh dokter selama dua jam, namun ia merasa penanganan yang diberikan ketika mertuanya datang sudah termasuk cepat. Penanganan yang cepat untuk pasien, serta tidak merugikan, memperburuk dan membahayakannya karena kelalaian disini tentu sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini membuktikan bahwa prinsip Non-malficence di rumah sakit ini telah diterapkan.
Prinsip Autonomy dalam hal ini pasien diberikan hak untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri, juga tampaknya telah tercapai. Karena Ibu S beserta kelurganya yang ikut menunggu sudah tahu mengenai apa yang akan dijalani oleh pasien, yakni pemerisaan yang lebih lanjut oleh dokter yang bersangkutan. Selain itu Ibu S dan beberapa keluarganya juga merasa bahwa perawat bersikap ramah terhadap mereka
Beberapa saat kemudian setelah selesai mewawancarai Ibu S, teman – teman kami yang telah selesai melakukan pengamatan di ruang IRD pun keluar satu persatu.
Saya dan teman-teman sekelompok kemudian melangkahkan kaki masuk ke ruang IRD. Di dalam sudah ada beberapa perawat yang sedang sibuk dengan tugasnya masing – masing beserta seorang dokter yang sedang duduk menunggu pasien. Karena beberapa perawat masih terlihat sangat sibuk untuk kami wawancarai, kami pun sesekali melihat kondisi dalam ruang rawat pasien yang berada di dekat pintu utama ruang IRD. Ruangan itu bersih dan tertata, di dalamnya terdapat beberapa ranjang yang masing – masing sudah diisi oleh pasien, ruangan ini juga terlihat ramai oleh beberapa pasien yang sedang di jenguk oleh rekan atau keluarganya.
Setelah melihat-lihat kedalam ruangan pasien, kami kemudian bermaksud untuk mewawancarai salah seorang perawat yang tengah sibuk mengangkat telepon dan sesekali melayani beberapa keluarga pasien yang sudah menebus obat rekannya yang sedang di rawat.
Saat perawat memiliki waktu luang, kamipun memperkenalkan diri dan meminta izin mewawancarinya, dengan ramah ia pun menyanggupi. Perawat berinisial M ini adalah salah seorang perawat IRD yang sudah bekerja selama 2 tahun. Menurut pengamatannya jumlah pasien yang datang ke IRD rata-rata 30 40 perhari.
Sesekali ketika kami ingin bertanya, beberapa telepon sempat berbunyi dan beberapa keluarga pasien juga ada yang datang dan meminta penjelasan mengenai beberapa hal. Perawat M kemudian menghentikan wawancaranya dengan kami dan mengerjakan tugasnya terlebih dahulu, yakni mengangkat telepon dan melayani keluarga pasien tersebut dengan ramah.
Secara tidak sengaja pun prinsip dasar Beneficence telah dicerminkan oleh perilaku perawat ini. Dalam prinsip ini dikatakan bahwa perlunya perlakuan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Selanjutnya Beneficence ini membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien dengan mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Memberikan pelayanan yang terbaik ini lah yang penting untuk diterapkan kepada pasien.
Ketika selesai dengan tugasnya, kami kemudian melanjutkan bertanya mengenai kendala yang sering ia alami. Ia kemudian memaparkan bahwa terkadang pasien sudah merasa dilayani oleh pemeriksaan tertentu namun sebenarnya belum. Hal ini tentu dapat mengacaukan proses pemeriksaan pasien tersebut. Selain itu ia juga sudah merasa bahwa hubungan antara ia dengan dokter sudah berjalan dengan baik. Mengenai cara mengatasi perilaku pasien yang berbeda-beda ia hanya mengatakan bahwa hal yang paling penting adalah menjelaskan segala sesuatunya kepada pasien dengan sabar.
Mengenai hal yang selama ini ia keluhkan adalah kurangnya peralatan-peralatan tertentu, salah satunya adalah DC Shock. Peralatan ini sangat penting tersedia di rumah sakit, apalagi untuk pasien dalam kondisi kegawatdaruratan. DC Shock ini adalah peralatan elektronik yang berfungsi memberikan kejut  listrik dalam waktu yang relatif singkat dengan intensitas yang tinggi kepada pasien penyakit jantung.
Setelah mewawancarainya kamipun berpamitan dan kemudian kami pergi menuju ke lobi rumah sakit menunggu teman – teman kami yang masih melakukan observasi lapangan. Sebelum pulang kami menyempatkan untuk bersama – sama melihat dan mengambil gambar ruang perawatan, toilet dan kantin rumah sakit Ibnu Sina.
Kesimpulan
Kaidah dasar etika kedokteran atau bioetik, yakni Beneficence, Non-malficence, Justice, dan Autonomy, harus selalu diterapkan dan menjadi dasar pelayanan terutama dalam hal ini dokter ke pasien. Prinsip ini dapat dilakukan atau diterapkan secara bersamaan, tetapi dalam kasus-kasus dengan kondisi tertentu, satu prinsip menjadi jauh lebih penting dan mengorbankan prinsip-prinsip yang lainnya

Refleksi Film - Never Let Me Go




Film “Never Let Me Go” merupakan film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Kazuo Ishiguro. Awal film ini menceritakan tentang alur maju seorang perawat yang melihat pasien yang akan mendonorkan organnya. Alur maju yang singkat ini membuat saya penasaran karena menurut saya, jarang sekali ada orang yang mau cuma-cuma mendonorkan organnya denga cuma – cuma ini.
Pertanyaan saya terjawab setelah film ini mengarah ke alur mundur perawat yang bernama Katty H. Cerita di film ini membawa saya ke kisah tiga seorang sahabat, yaitu Katty H, Ruth, dan Tommy. Mereka hidup seperti anak-anak lain yang sekolah berasrama dan hidup elit. Sekolah mereka bernama Hailsham. Film ini menceritakan di mana Hailsham itu adalah sekolah asrama elit, dimana siswa-siswinya di absen menggunakan peralatan canggih, minum susu setiap hari, dan di check kesehatannya secara rutin oleh dokter. Menurut saya untuk ukuran tahun 70-an seperti yang diceritakan oleh film ini, kehidupan mereka memang sangat elit dan membuat saya berpresepsi bahwa mereka ini adalah anak-anak orang kaya.
Cerita lain yang mendominasi adalah kisah tiga orang sahabat ini. Seperti sahabat lainnya, mereka terlihat menyemangati satu sama lain, apalagi yang paling menonjol di awal cerita adalah Katty sangat perhatian ke Tommy. Saya awalnya berpikir bahwa ini hal yang wajar-wajar saja, maksud saya hal ini sangat biasa untuk ukuran teman. Apalagi disini Tommy diceritakan sebagai anak yang tidak suka olahraga dan arts (seni), pemarah, dan sering di jauhi oleh teman laki-lakinya. Tommy disini juga digambarkan sebagai anak yang tidak terlalu pintar yang selalu mengulang atau menjawab menggunakan jawaban yang sama dengan orang lain. Di saat-saat seperti inilah Katty yang selalu menenangkan Tommy, membantu Tommy menjawab ketika ia kesulitan menjawab pertanyaan, dan lain-lain. Menurut saya ini adalah ukuran yang biasa untuk seorang teman. Yang kemudian saya pikirkan, kenapa Ruth malah tidak pernah ikut menghibur Tommy sebagai teman. Ruth juga disini terlihat seperti tidak terlalu perhatian ke Katty dan Tommy.
Hal lain yang membuat presepsi saya berubah adalah ketika Ruth menceritakan laki-laki yang disukai oleh banyak teman-temannya, Katty malah sebaliknya tidak suka, dan berpikir bahwa Tommy lebih baik. Awalnya saya pikir dia hanya membela-bela biasa. Namun ternyata saya kemudian berubah pikiran ketika dia berani menenangkan Tommy yang sedang marah dan ia tidak balik marah ketika Tommy tidak sengaja memukulnya. Duduk didekat Tommy ketika tidak ada yang mau menemaninya duduk untuk makan. Hal ini diperkuat saat mereka ternyata tidak sengaja saling bertatapan dan tersenyum. Saya juga berpikir bahwa tidak hanya Katty yang suka kepada Tommy, tapi Tommy juga sebenarnya suka. Karena Tommy juga sangat perhatian ke Katty, karena ia sempat menghibur Katty dengan memberikan sebuah kaset ketika Katty merasa sedih.
Setelah sekian lama film ini menceritakan kisah tentang mereka berdua, kemudian tiba-tiba Ruth datang. Ia yang kemudian merebut posisi Katty. Ia terlihat sangat agresif. Dan membuat cinta Katty dan Tommy kemudian berhenti seketika sampai akhirnya mereka dewasa dan tinggal di Cottage. Film ini tidak menceritakan tentang awal mula kedekatan Ruth dan Tommy. Menurut saya, Ruth hanya tiba-tiba mengisi kekosongan di antara mereka berdua tanpa alasan yang jelas, padahal awalnya Ruth sepertinya tidak tertarik pada Tommy.
Arah dari film ini kemudian jelas saat saya mengetahui bahwa mereka ini adalah calon-calon pendonor untuk seseorang diluar sana. Guru mereka yang menceritakan hal ini kepada mereka dengan perlahan-lahan namun sangat menyakitkan. Membuat saya merasa sangat miris adalah karena mereka hanyalah anak-anak yang dipersiapkan untuk mati tanpa cita-cita seperti layaknya anak-anak normal yang lain yang mungkin bercita-cita menjadi seorang aktor, pilot, dokter, dll.
Cerita mereka yang kemudian tumbuh besar dan tinggal di Cottage ini yang membuat saya baru mengerti bahwa ternyata mereka adalah produk kloningan yang akan diambil organ-organnya saat pengkloningnya membutuhkan. Yang membuat saya sangat kesal adalah mereka seperti tidak berdaya untuk memberontak, melawan atau mencoba untuk kabur ke luar negeri atau bagaimana agar mereka bisa bebas dan tidak terikat. Karena cerita di film ini hanya terus menceritakan mengenai mereka yang terus menerus mempercayai mitos-mitos penangguhan donasi yang belum tentu kebenarannya, terutama mitos mengenai cinta sejati.
Hal lain yang membuat saya miris adalah mereka seolah-olah tidak pernah melihat dunia luar, sehingga mereka merasa sangat canggung ketika mereka berjalan ke kota. Ini yang juga akhirnya membuat saya penasaran, mengenai kenapa sebenarnya mereka dibiarkan hidup sendiri tanpa ada interaksi, apakah ini memang disengaja oleh pihak yang mengawasi mereka atau hanya karena mereka tidak bisa beradaptasi akibat terlalu lama tinggal di asrama Hailsham yang orang –orangnya itu itu saja, atau bagaimana, karena cerita ini tampak terlalu mengambang tanpa penjelasan.
Cerita lain di cottage adalah mengenai kedekatan hubungan Ruth dan Tommy. Cerita mengenai Katty yang selalu sabar terhadap Ruth, walaupun Ruth, temannya sendiri, kadang terlihat jahat dan memojokkan Katty juga kadang membuat saya kesal. Sampai pada akhirnya rumor penangguhan donasi lewat cinta sejati ini memisahkan mereka bertiga.
Karena berbagai hal yang terjadi sampai akhirnya Katty memutuskan untuk menjadi perawat. Hidup Katty juga terlihat membaik karena ia terlihat seperti menikmati pekerjaannya itu. Pekerjaannya itupula yang membawanya kembali bertemu Ruth yang telah menyelesaikan donasi keduanya. Katty yang akhirnya memutuskan untuk menjadi perawat tetap Ruth akhirnya membawanya kembali ke Tommy. Namun di akhir cerita ini. Ruth dan Tommy akhirnya meninggal, dan Katty pun bersiap untuk menjalani donasi pertamanya setelah kehilangan Tommy.
Film tentang manusia pendonor organ tidak hanya ini, sebelumnya saya juga pernah menonton film “Sister Keeper”, walaupun film itu tidak menceritakan tentang manusia kloningan seperti film ini.  Menurut saya, pendonor paksaan adalah hal yang sangat tidak berperikemanusiaan. Walaupun pendonor organ memang sangat dibutuhkan, terutama untuk orang-orang yang memiliki komplikasi yang parah pada organ tertentu sehingga dibutuhkan transplantasi organ dalam waktu dekat.
Hal lain yang menyebabkan sumber daya pendonor ini sangat dibutuhkan adalah karena kesulitan untuk mencari pendonor. Faktanya, sangat jarang ada orang yang mau mendonorkan organnya secara cuma – cuma atau bahkan dengan imbalan biaya pun belum tentu ada yang mau. Selain itu organ yang akan dikloning pun kadang belum tentu cocok diterima oleh tubuh penerimanya. Sehingga pendonor merupakan orang yang harus memiliki organ yang identik atau hampir sama dengan pemilik,  maka dari itu biasanya pendonor diambil dari keluarga penerima organ tersebut.
Hal inilah yang membawa kita ke konflik film yang lain, yaitu pendonor adalah kloningan orang yang akan menerimanya. Pendonor yang identik dengan penerima inilah yang menjadikan kemungkinan untuk diterimanya organ-organ tersebut oleh tubuh penerima menjadi jauh lebih besar. Selain itu telah tersedianya kloningan ini memudahkan penerimanya ketika ia membuthkan organ tersebut, sehingga dia tidak perlu sibuk mencari pendonor.
Film ini sangat menghibur dan mengedukasi. Terutama dari segi baik buruknya kloning, walaupun sisi buruknya jauh lebih besar dan mendominasi daripada sisi baiknya. Kloning yang merupakan salah satu rekayasa genetika sampai saat ini masih terus dipelajari dan diteliti walaupun sudah menumbuhkan berbagai kontroversi dari sisi mana saja terutama dari segi agama.
Semoga bermandaat :)


cerpen - garis lurus



STRAIGHT LINE

karangan: ny
based on a true story





Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan?”
            “kamu sudah lihat pengumumankah?”
            “Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
            Hani terdiam. Tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sesekali Ia membaca sms lagi. Membalas sms mereka singkat.
            “Aku belum lihat.”
            Ia kemudian pergi solat. kemudian berdoa sungguh – sungguh. Membersihkan hatinya yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Namun tiba – tiba hapenya berbunyi lagi. Seorang teman dekatnya menelpon, teman yang sangat menginspirasi baginya. Hani mengangkat telepon itu, berbicara dengannya, dan meneteskan air mata.
           
            2 Tahun Lalu.
            Malam itu, sudah sangat larut untuk sibuk – sibuk belajar. Tapi karena besok ada ulangan penting dari guru penting, Hani, Verlita, dan Tati masih sibuk belajar. Mulai dari buku tipis sederhana punya anak – anak SMA umumnya, sampai kebuku tebal Campbell milik mahasiswa juga mereka pelajari. Karena soal – soal yang dikeluarkan dari guru penting itu biasanya soal – soal dewa yang turun dari langit. Angka 85 adalah angka tertinggi dalam sejarah angkatan kami yang pernah didapat untuk soal – soal dari guru itu, namanya Ibu Sri.
Paginya, mereka semua menunggu di depan laboratorium Biologi. Verlita dan Tati  tidak henti membolak balik bukunya dengan serius, tidak ingin waktunya terbuang percuma. Sedang yang lainnya sibuk membuat catatan kecil contekan atau hanya sekedar membuat strategi mencontek.
            “Lit, Mau nggak kita janjian gak nyontek” Hani tersenyum sederhana. Ia melihat ke wajah serius Verlita.
            “Nggak tau yaa Han” Verlita tertawa kecil “Ntar kucoba ya”.
            Hari itu memang ulangan mengenai pencernaan. Pelajaran Biologi terseru yang ada. Semua menjadi sangat semangat menjawab pertanyaan essai yang di berikan Ibu Sri untuk menjawab se detail – detail dan sejelas – jelas mungkin.
            “Gimana Lit, tadi jawab sendiri?”
            Lita tersenyum “ Iya Han “.
            Esoknya hari Sabtu, Verlita dan Hani pergi keluar asrama untuk mencari kebutuhan – kebutuhan anak asrama di mall. Mengelilingi mall sampai waktu untuk kembali ke asrama sudah dekat. Ketika mereka akan pulang, tiba – tiba Verlita baru ingat adeknya yang sakit dirumah, hapenya yang daritadi ia silent ternyata penuh dengan misscall dari ibunya. Hani dan Verlita kemudian segera mencari angkutan kota untuk mengantarkan mereka ke rumah Verlita.
Sampai di depan jalan, mereka kemudian berjalan melewati jalan – jalan kecil yang cukup jauh. Rumah disekitar tempat itu terbuat dari kayu, berdempetan, penuh dengan semak-semak. Saat itu sudah malam. Hani menunggu Verlita diluar rumah, mencoba sabar digigiti nyamuk .
            Perlahan kemudian Ibu separuh baya keluar dari rumah itu.
            “Masuk nak, hari ini Verlita tidak bisa pulang dulu ke asrama. Kalian menginap disini saja dulu , besok baru pulang, ya.” Ia berdiri di depan pintu, menunggu Hani masuk kerumah.
            “Oh. Mm, Iya Tante.” Sahut Hani tidak yakin dalam hati. Ia kemudian perlahan masuk. Rumah itu sangat sempit. Hanya ada tiga ruang kecil yang ada. Satu ruang kamar mandi. Satu ruang utama. Dan satu ruang lagi yang tidak tahu isinya apa, ruangan itu di tutupi oleh gorden merah yang cukup panjang untuk menutupi isinya. Adik Verlita tidur di ruangan itu. Sementara mereka bertiga, tidur di ruang utama yang sempit. Tidak ada tanda – tanda kehadiran ayah Verlita.
            Satu minggu kemudian, pengumuman nilai – nilai itu sudah ada. Semuanya hampir mendapatkan nilai yang memuaskan. Ini mungkin karena pelajaran mengenai pencernaan memang yang paling enak, seru, jadi mereka bisa menjawab dengan baik. Ya, seperti biasa nilai Hani hanya mencapai nilai standar 79. Tapi itu sudah termasuk bagus. Tati, si cewek paling rajin hanya diam duduk dikursinya senyum – senyum malu melihat kertas ujiannya.
            “Dapat berapaa Tat?” Hani bertanya dengan nada memaksa. Ia sudah harus siap – siap cemburu karena Tati biasanya mendapatkan nilai yang lebih bagus.
            “ 89 Haaaan. Kamu berapaa? “ Senyumnya lebar.
            “Lebih jelek kok. 79. Selamatnyaa” Ucapnya setengah tidak ikhlas, tapi Hani hanya terus berusaha tersenyum bahagia.
            “Lit, kamu dapat berapa?” Tati bertanya dengan sedikit nada sombong.
            Ia menyodorkan kertasnya dengan tersenyum.
            “Cieeeeeeeeeee, litaaa” Hani tersenyum puas. Verlita yang baru pertama kali mencoba tidak mencontek, untuk pertama kalinya dalam sejarah angkatan, ia bisa mendapatkan nilai sempurnanya, seratus.
            Sejak saat itu. Hani dan Verlita terus semangat belajar. Dan mengobarkan bendera ‘Say no to nyontek’ di dada mereka. Walaupun satu kelas menyontek. Mereka berdua adalah yang paling kalem di kelas. Semenjak saat itu, Verlita menjadi semangat dan tidak pernah menyontek lagi. Namun semenjak itu pula, lama – kelamaan nilai Verlita menjadi semakin menurun, ia menjadi sering remidi dan mendapatkan nilai merah.
            “ Han, aku remidi lagi.” Verlita terduduk di bangku. Ia yang tiba – tiba datang ke kamar Hani sudah membendung air matanya. Ia sudah lama menjadi down dan tidak semangat belajar lagi. Air matanya sudah hampir mengalir.
            Hani menatapnya lekat – lekat. Mencoba mengerti perasaannya.
“Lit, aku juga pernah ngalami gitu juga kok. Sama kayak kamu. Kelas satu dulu, aku itu master nyontek, lebih parah nyonteknya daripada kamu.
Teman – teman nda ada yang berani buka buku pas Ibu Sri yang ngasi ulangan, tapi aku selalu berani. Semua macam trik nyontek pernah kupake. Dari bikin catatan kecil sampai coret – coret di tangan aku juga sudah biasa banget, sudah ahli. Ibu Sri itu sudah sampai tahu aku itu paling rajin nyontek. Aku dulu yang paling sering ditegur. Walaupun sekarang aku sudah nda pernah nyontek lagi, aku masih sering ditegur. Mungkin karena Ibu Sri nda percaya lagi sama aku.” Hani kemudian terdiam. Ia kemudian mengambil posisi di samping Verlita.
“Tapi pas aku mau ulangan mengenai Fungi Jamur. Aku nda ada ngerti apa – apa sama sekali mengenai jamur. Malam sebelum ulangan, tumben – tumbennya aku mau belajar bener – bener, sampai akhirnya aku pergi minum kopi. Terus aku pergi belajar sama Ifa. Kalo ada yang aku bingung aku tanya sama dia, kalo aku ngantuk, dia bangunin lagi.” Lanjut Hani.
“Oooh. pantesan nilai Ifa selalu bagus. Ternyata dia rajiiin banget ya” Tandas Verlita, ia mulai memperhatikan Hani dengan serius.
 “Besoknya, aku coba – coba untuk ngerjakan ulangan sendiri. Karena aku pikir, belum tentu aku nyontek aku bakal dapat nilai yang lebih bagus. Mending aku jujur aja. Paling nilaiku kurang lebih sama nilai orang yang nyontek. Akhirnya ulangannya aku kerjakan sendiri sampai selesai.
Pas pengumuman. Untuk pertama kalinya aku dapat nilai 85 dari hasil belajarku sendiri. Kadang aku nyontek aja belum tentu aku dapat segitu. Rasanya itu asik banget, kita bisa dapat nilai yang bagus dengan usaha kita sendiri. Itu sudah luar biasa banget. Semenjak itu, aku tekad. Aku ga mau nyontek lagi. Sampai sekarang.
Aku juga pernah ngalami masa-masa down kayak kamu. Bahkan lebih parah. Pas itu, kita sempat ada mid semester kacau. Ulangan kita nda tentu. Satu hari bisa satu sampai tiga yang diulangankan. Semua ulangan bermepetan. Nda sempat belajar semua. Nilaiku hancuur sekali. Sampai aku drop karena demam tinggi saking capeknya. Capek belajar, capek batin juga. Di satu sisi aku belajar di sisi lain aku kepikiran sama remedi-remediku yang sudah numpuk. Di antara temen-temen yang lain aku yang paling banyak remidinya. Ulangan Matematika, teman-teman semuanya nda ada yang remidi, cuma aku yang remidi. Tapi nda apa. Aku konsisten. Aku tetap usaha sendiri. Kerjakan sendiri. Sampai sekarang, aku sudah jadi biasa. Nilaiku sekarang juga sudah mulai konstan. Yang penting kita usaha, belajar. Nilai itu nda penting. Yang penting itu adalah proses untuk mendapatkan nilai itu. Apakah kita sudah pantas atau tidak untuk dapat nilai itu.” Terang Hani.
“Semaangat Lita” Senyum Hani. Ia mengepalkan tanganya kuat kuat. “Semangaaat!” Lanjutnya lagi.
Verlita tersenyum. Ia akhirnya tetap konsisten. Hani dan Lita kemudian menjadi semakin dekat menjadi semakin sering pula saling menasehati, terutama masalah agama.
Kelas tiga sudah dimulai, mereka tidak sekelas lagi. Hani sudah mendapatkan teman-teman barunya, begitupula Verlita. Tapi Hani merasa  Verlita adalah temannya yang paling memberikan semangat. Hani menjadi tidak terlalu rajin lagi belajar. Sesekali mereka bertemu dan curhat. Lita selalu memberikan motivasi untuk Hani.
“Ayo semangat Han, jangan malas belajar karena kita nggak sekelas lagi. Bersandar sama Allah. Jangan bersandar sama aku. Kita kan nggak selamanya sama – sama.” Senyum Verlita memberikan semangat. “Semangaat.. Semangaat.. Semangaat “ Velita mengepalkan tangan untuk meyakinkan Hani.
Hani tersenyum dan mencoba berusaha kembali.
UAN semakin dekat. Semua orang sibuk mencari strategi mencontek. Hani tidak pernah tega tidak memberikan jawaban kepada orang yang menanyakan jawaban kepadanya. UAS pun Hani jalani dengan murni menggunakan jawaban sendiri. UAN kali ini, Hani ikut dalam strategi mencontek. Ia ikut dalam strategi ini tidak untuk mencontek jawaban temannya, tapi untuk diconteki. Ia selalu memberikan jawabannya tanpa meminta jawaban balik. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak pernah benar-benar merasa tega.
Jam 09.00 pagi UAN hari pertama sudah dimulai. Anak-anak sudah duduk di depan kelas masing – masing, ada yang sibuk belajar, ada juga yang sibuk menghibur diri. Hani duduk di depan kelasnya mendengarkan sesuatu dari balik earphonenya, kemudian Verlita ternyata tiba – tiba datang dan menyapa.
“ Hai lit “ Hani membuka salah satu earphone dan membaginya ke Verlita. Terdengar lantunan ayat suci alquran dari sana. Hani juga kemudian mengambil permen karet dari balik saku dan memberikan salah satunya ke Verlita.
“Makasih ya “
“Iya, sama – sama. Ngilangin setres kaan “ Hani tersenyum. Ia tahu perasaannya saat ini panik. Karena tahu ia belum siap untuk ujian hari ini. “ Oh iya, kamu nyontek kah nanti?“ Lanjutnya bertanya ragu – ragu. Ia sebenernya juga masih khawatir, karena semua teman – temannya begitu sibuk belajar dan menyiapkan strategi mencontek karena takut akan sulit mendapatkan universitas nantinya.
Nilai adalah yang semua orang khawatirkan sekarang. Karena selembar kertas yang berisi nilai lah yang akan dilihat oleh semua universitas. Bukan proses. Mereka tidak peduli apakah kamu jujur mengerjakan UAN mu atau tidak. Tidak peduli apakah dalam tiga tahun sekolahmu kamu berusaha setengah mati atau sebailknya dengan mudah mencontek.
“Enggak laah. kamu enggak kan?” Tanya Verlita memastikan. Ia sudah bisa membaca kekhawatiran yang muncul di wajah Hani.
“emmm, iya.” Jawab Hani ragu. Verlita sudah berubah jauh dari yang dikira Hani. Ia sekarang menjadi sosok yang lebih tenang. Walaupun nilainya tidak pernah sebaik yang dulu lagi. Verlita terus tersenyum.
“Oh iya, Han, aku ikut bidik misi. Jangan lupa doakan aku yang banyak yaa. Oke”
Iya, selalu kudoakan.Batin Hani



Beberapa bulan kemudian

Aku sudah berada di satu kota yang ada di Kalimantan, mengambil les di salah satu bimbingan belajar, sedangkan Verlita masih ada di Jawa menunggu pengumuman kelulusan. Beberapa temanku memang ada yang tidak ikut bimbingan seperti ini kadang merasa tidak memerlukannya, ada juga yang memang tidak ikut karena tidak sanggup untuk membayar.
 Pengumuman UAN hari itu memuaskan, karena kami semua lulus. Beberapa temanku mendapatkan nilai sempurna, mendekati sempurna 90, dan lain – lain. Nilaiku termasuk yang paling jelek. sekitar 70-an. Tapi menurutku itu sudah lumayan. Untuk orang yang tidak pintar, sok tahu dan terus bersikeras untuk tidak curang.
Hanya saja. Sms itu muncul di hapeku. Verlita sangat kecewa. Nilainya merah dan sangat jatuh di bawah harapan. Nilainya yang dibawah 50 sangat tidak memungkinkan untuk masuk di universitas negeri. Orang tuanya kecewa. Karena ini semua tentu bisa menyulitkannya masuk ke universitas. Universitas negeri adalah satu – satunya pilihannya. Membayar kuliah di universitas swasta, ibunya tentu tidak sanggup membiayai, apalagi aku baru – baru tahu kalau ternyata ayah Verlita memang sudah meninggal. Sekolah di SMA boarding school, seperti di SMAku tentu merupakan keberuntungan baginya, karena itu berasal dari bantuan beasiswa.
Aku sangat sedih dan khawatir. Tidak bisa memberinya apa – apa selain semangat. Aku sangat merasa bersalah. Mungkin karena aku yang dari awal membuatnya mencoba pilihan yang sulit ini, untuk berusaha dan tidak berbuat curang. Mungkin aku yang salah, yang membuat masa depannya menjadi tidak jelas. Ia bisa jadi tidak lulus di universitas negeri. Kemudian kesana kemari ia mencari pekerjaan yang bisa membantu kehidupan keluarganya.
Aku sangat sedih. Lita pasti akan merasakan hal yang jauh lebih menyedihkan daripadi apa yang aku rasakan. Ini semua karena salahku yang sok baik dan sok bijaksana.



Beberapa bulan berlalu.

Aku sudah lupa soal nilai UAN. Bagiku itu tidak penting lagi. Yang kupikirkan sekarang adalah belajar sekeras mungkn untuk bisa masuk jalur SBMPTN Universitas Negeri. Malam ini sekitar jam 06.00 pengumuman jalur undangan SNMPTN sudah diumumkan. Pilihan utamaku ada pada salah satu universitas negeri di jawa. Membuatku tidak bisa menutupi rasa takut dan khawatirku. Membuatku aku menjadi terlalu takut untuk membuka website resmi untuk melihat pengumumannya.
Hapeku sejak tadi berdering. Semua teman – temanku, mencari kabar mengenai kelulusan teman – temannya yang lain.
Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan? Aku ndaa lulus haaaaaaan :’( bukan rejekinya mungkin ya.”
            “kamu sudah lihat pengumumankah han?”
            “Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
            Aku terdiam. Laptop sudah ada disampingku beserta modemnya, tapi aku tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sesekali aku membaca sms lagi. Membalas sms mereka singkat.
            “Aku belum lihat.”
            Jantungku terus berdegup takut dan khawatir. Aku takut hasilnya tidak memuaskan. Aku takut kehilangan kursi di salah satu universitas favoritku. Hatiku gusar. Aku kemudian pergi solat, untuk menari ketenangan. Kemudian berdoa sungguh – sungguh. Membersihkan hati yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Tiba – tiba hapeku berbunyi lagi. Menandakan ada panggilan masuk. Aku kemudian segera meraih hape.
“Haaaaaaaaaaaaan” dari balik telepon sesekali kudengar isak tangis seseorang.
“Iya” suaraku bergetar. Entah apa yang ia ingin sampaikan. Tapi tanganku ikut bergetar, memegang telepon itu erat - erat.
“Haaaaan” terdengar isaknya. Ia menangis tidak bisa melanjutkan ceritanya.
“Iya kenapa lit” Mataku mulai berkaca – kaca. Meraba – raba apa yang akan di katakan olehnya. Verlita terus menangis, ia belum mengatakan apa – apa. Terdengar keheningan. Sesekali terdengar suara Verlita menangis.

“Aku lulus han” Ia terus menangis. Tidak bisa menahannya. Ya. Dia lulus. Alhamdulillah. Batinku berbisik. Aku terdiam mulai Tidak pernah menyangka. Pandanganku kabur. Terus mencoba mendengarkan suara dibalik telepon “Aku lulus haaan”. Pikiranku jauh dan merasakan apa yang dirasakan oleh orangtuanya, ia pasti bahagia. Sangat bahagia melihat anak sulungnya, anak yang akan menjadi tulang punggung keluarganya sudah mendapatkan apa yang selama ini mereka impikan. “Aku lulus di pilihan pertamaku” Tangisannya tak bisa ia tahan. Aku menangis terisak – isak ikut bahagia. “ITB Han” Lanjutnya. Tangiskupun mulai pecah. ITB, Universitas dambaannya, dambaan semua orang, termasuk aku. Aku sangat bahagia, rasa iri itu bahkan benar – benar hilang dari hatiku. Melihatnya lulus adalah kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada itu.
“Makasih ya Han, kamu sudah bikin aku seperti ini” Lanjut Verlita. Tangisnya mereda. Ia menungguku bicara. Tapi aku terus menangis, bahkan terisak – isak, tidak sanggup bicara. Aku kembali mengingat, bahwa sebenarnya dialah yang membuat aku seperti ini. Membuat aku semakin semangat belajar. Disaat akan ujian nasional aku sempat ingin bergerak untuk berbuat curang, dialah yang mengingatkanku akan kata – kataku sendiri. Dialah yang terus berjalan di garis – garis lurus yang pernah kubuat. Walaupun aku sempat menoleh untuk berjalan digaris lainnya. Terimakasih ya Allah, engkau sempat pertemukan aku dengan temanku ini dijalan lurusmu. Semoga aku bisa mendapatkan teman sepertinya lagi. Amin. Batinku menangis.