Selasa, 24 Desember 2013

cerpen - garis lurus



STRAIGHT LINE

karangan: ny
based on a true story





Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan?”
            “kamu sudah lihat pengumumankah?”
            “Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
            Hani terdiam. Tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sesekali Ia membaca sms lagi. Membalas sms mereka singkat.
            “Aku belum lihat.”
            Ia kemudian pergi solat. kemudian berdoa sungguh – sungguh. Membersihkan hatinya yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Namun tiba – tiba hapenya berbunyi lagi. Seorang teman dekatnya menelpon, teman yang sangat menginspirasi baginya. Hani mengangkat telepon itu, berbicara dengannya, dan meneteskan air mata.
           
            2 Tahun Lalu.
            Malam itu, sudah sangat larut untuk sibuk – sibuk belajar. Tapi karena besok ada ulangan penting dari guru penting, Hani, Verlita, dan Tati masih sibuk belajar. Mulai dari buku tipis sederhana punya anak – anak SMA umumnya, sampai kebuku tebal Campbell milik mahasiswa juga mereka pelajari. Karena soal – soal yang dikeluarkan dari guru penting itu biasanya soal – soal dewa yang turun dari langit. Angka 85 adalah angka tertinggi dalam sejarah angkatan kami yang pernah didapat untuk soal – soal dari guru itu, namanya Ibu Sri.
Paginya, mereka semua menunggu di depan laboratorium Biologi. Verlita dan Tati  tidak henti membolak balik bukunya dengan serius, tidak ingin waktunya terbuang percuma. Sedang yang lainnya sibuk membuat catatan kecil contekan atau hanya sekedar membuat strategi mencontek.
            “Lit, Mau nggak kita janjian gak nyontek” Hani tersenyum sederhana. Ia melihat ke wajah serius Verlita.
            “Nggak tau yaa Han” Verlita tertawa kecil “Ntar kucoba ya”.
            Hari itu memang ulangan mengenai pencernaan. Pelajaran Biologi terseru yang ada. Semua menjadi sangat semangat menjawab pertanyaan essai yang di berikan Ibu Sri untuk menjawab se detail – detail dan sejelas – jelas mungkin.
            “Gimana Lit, tadi jawab sendiri?”
            Lita tersenyum “ Iya Han “.
            Esoknya hari Sabtu, Verlita dan Hani pergi keluar asrama untuk mencari kebutuhan – kebutuhan anak asrama di mall. Mengelilingi mall sampai waktu untuk kembali ke asrama sudah dekat. Ketika mereka akan pulang, tiba – tiba Verlita baru ingat adeknya yang sakit dirumah, hapenya yang daritadi ia silent ternyata penuh dengan misscall dari ibunya. Hani dan Verlita kemudian segera mencari angkutan kota untuk mengantarkan mereka ke rumah Verlita.
Sampai di depan jalan, mereka kemudian berjalan melewati jalan – jalan kecil yang cukup jauh. Rumah disekitar tempat itu terbuat dari kayu, berdempetan, penuh dengan semak-semak. Saat itu sudah malam. Hani menunggu Verlita diluar rumah, mencoba sabar digigiti nyamuk .
            Perlahan kemudian Ibu separuh baya keluar dari rumah itu.
            “Masuk nak, hari ini Verlita tidak bisa pulang dulu ke asrama. Kalian menginap disini saja dulu , besok baru pulang, ya.” Ia berdiri di depan pintu, menunggu Hani masuk kerumah.
            “Oh. Mm, Iya Tante.” Sahut Hani tidak yakin dalam hati. Ia kemudian perlahan masuk. Rumah itu sangat sempit. Hanya ada tiga ruang kecil yang ada. Satu ruang kamar mandi. Satu ruang utama. Dan satu ruang lagi yang tidak tahu isinya apa, ruangan itu di tutupi oleh gorden merah yang cukup panjang untuk menutupi isinya. Adik Verlita tidur di ruangan itu. Sementara mereka bertiga, tidur di ruang utama yang sempit. Tidak ada tanda – tanda kehadiran ayah Verlita.
            Satu minggu kemudian, pengumuman nilai – nilai itu sudah ada. Semuanya hampir mendapatkan nilai yang memuaskan. Ini mungkin karena pelajaran mengenai pencernaan memang yang paling enak, seru, jadi mereka bisa menjawab dengan baik. Ya, seperti biasa nilai Hani hanya mencapai nilai standar 79. Tapi itu sudah termasuk bagus. Tati, si cewek paling rajin hanya diam duduk dikursinya senyum – senyum malu melihat kertas ujiannya.
            “Dapat berapaa Tat?” Hani bertanya dengan nada memaksa. Ia sudah harus siap – siap cemburu karena Tati biasanya mendapatkan nilai yang lebih bagus.
            “ 89 Haaaan. Kamu berapaa? “ Senyumnya lebar.
            “Lebih jelek kok. 79. Selamatnyaa” Ucapnya setengah tidak ikhlas, tapi Hani hanya terus berusaha tersenyum bahagia.
            “Lit, kamu dapat berapa?” Tati bertanya dengan sedikit nada sombong.
            Ia menyodorkan kertasnya dengan tersenyum.
            “Cieeeeeeeeeee, litaaa” Hani tersenyum puas. Verlita yang baru pertama kali mencoba tidak mencontek, untuk pertama kalinya dalam sejarah angkatan, ia bisa mendapatkan nilai sempurnanya, seratus.
            Sejak saat itu. Hani dan Verlita terus semangat belajar. Dan mengobarkan bendera ‘Say no to nyontek’ di dada mereka. Walaupun satu kelas menyontek. Mereka berdua adalah yang paling kalem di kelas. Semenjak saat itu, Verlita menjadi semangat dan tidak pernah menyontek lagi. Namun semenjak itu pula, lama – kelamaan nilai Verlita menjadi semakin menurun, ia menjadi sering remidi dan mendapatkan nilai merah.
            “ Han, aku remidi lagi.” Verlita terduduk di bangku. Ia yang tiba – tiba datang ke kamar Hani sudah membendung air matanya. Ia sudah lama menjadi down dan tidak semangat belajar lagi. Air matanya sudah hampir mengalir.
            Hani menatapnya lekat – lekat. Mencoba mengerti perasaannya.
“Lit, aku juga pernah ngalami gitu juga kok. Sama kayak kamu. Kelas satu dulu, aku itu master nyontek, lebih parah nyonteknya daripada kamu.
Teman – teman nda ada yang berani buka buku pas Ibu Sri yang ngasi ulangan, tapi aku selalu berani. Semua macam trik nyontek pernah kupake. Dari bikin catatan kecil sampai coret – coret di tangan aku juga sudah biasa banget, sudah ahli. Ibu Sri itu sudah sampai tahu aku itu paling rajin nyontek. Aku dulu yang paling sering ditegur. Walaupun sekarang aku sudah nda pernah nyontek lagi, aku masih sering ditegur. Mungkin karena Ibu Sri nda percaya lagi sama aku.” Hani kemudian terdiam. Ia kemudian mengambil posisi di samping Verlita.
“Tapi pas aku mau ulangan mengenai Fungi Jamur. Aku nda ada ngerti apa – apa sama sekali mengenai jamur. Malam sebelum ulangan, tumben – tumbennya aku mau belajar bener – bener, sampai akhirnya aku pergi minum kopi. Terus aku pergi belajar sama Ifa. Kalo ada yang aku bingung aku tanya sama dia, kalo aku ngantuk, dia bangunin lagi.” Lanjut Hani.
“Oooh. pantesan nilai Ifa selalu bagus. Ternyata dia rajiiin banget ya” Tandas Verlita, ia mulai memperhatikan Hani dengan serius.
 “Besoknya, aku coba – coba untuk ngerjakan ulangan sendiri. Karena aku pikir, belum tentu aku nyontek aku bakal dapat nilai yang lebih bagus. Mending aku jujur aja. Paling nilaiku kurang lebih sama nilai orang yang nyontek. Akhirnya ulangannya aku kerjakan sendiri sampai selesai.
Pas pengumuman. Untuk pertama kalinya aku dapat nilai 85 dari hasil belajarku sendiri. Kadang aku nyontek aja belum tentu aku dapat segitu. Rasanya itu asik banget, kita bisa dapat nilai yang bagus dengan usaha kita sendiri. Itu sudah luar biasa banget. Semenjak itu, aku tekad. Aku ga mau nyontek lagi. Sampai sekarang.
Aku juga pernah ngalami masa-masa down kayak kamu. Bahkan lebih parah. Pas itu, kita sempat ada mid semester kacau. Ulangan kita nda tentu. Satu hari bisa satu sampai tiga yang diulangankan. Semua ulangan bermepetan. Nda sempat belajar semua. Nilaiku hancuur sekali. Sampai aku drop karena demam tinggi saking capeknya. Capek belajar, capek batin juga. Di satu sisi aku belajar di sisi lain aku kepikiran sama remedi-remediku yang sudah numpuk. Di antara temen-temen yang lain aku yang paling banyak remidinya. Ulangan Matematika, teman-teman semuanya nda ada yang remidi, cuma aku yang remidi. Tapi nda apa. Aku konsisten. Aku tetap usaha sendiri. Kerjakan sendiri. Sampai sekarang, aku sudah jadi biasa. Nilaiku sekarang juga sudah mulai konstan. Yang penting kita usaha, belajar. Nilai itu nda penting. Yang penting itu adalah proses untuk mendapatkan nilai itu. Apakah kita sudah pantas atau tidak untuk dapat nilai itu.” Terang Hani.
“Semaangat Lita” Senyum Hani. Ia mengepalkan tanganya kuat kuat. “Semangaaat!” Lanjutnya lagi.
Verlita tersenyum. Ia akhirnya tetap konsisten. Hani dan Lita kemudian menjadi semakin dekat menjadi semakin sering pula saling menasehati, terutama masalah agama.
Kelas tiga sudah dimulai, mereka tidak sekelas lagi. Hani sudah mendapatkan teman-teman barunya, begitupula Verlita. Tapi Hani merasa  Verlita adalah temannya yang paling memberikan semangat. Hani menjadi tidak terlalu rajin lagi belajar. Sesekali mereka bertemu dan curhat. Lita selalu memberikan motivasi untuk Hani.
“Ayo semangat Han, jangan malas belajar karena kita nggak sekelas lagi. Bersandar sama Allah. Jangan bersandar sama aku. Kita kan nggak selamanya sama – sama.” Senyum Verlita memberikan semangat. “Semangaat.. Semangaat.. Semangaat “ Velita mengepalkan tangan untuk meyakinkan Hani.
Hani tersenyum dan mencoba berusaha kembali.
UAN semakin dekat. Semua orang sibuk mencari strategi mencontek. Hani tidak pernah tega tidak memberikan jawaban kepada orang yang menanyakan jawaban kepadanya. UAS pun Hani jalani dengan murni menggunakan jawaban sendiri. UAN kali ini, Hani ikut dalam strategi mencontek. Ia ikut dalam strategi ini tidak untuk mencontek jawaban temannya, tapi untuk diconteki. Ia selalu memberikan jawabannya tanpa meminta jawaban balik. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak pernah benar-benar merasa tega.
Jam 09.00 pagi UAN hari pertama sudah dimulai. Anak-anak sudah duduk di depan kelas masing – masing, ada yang sibuk belajar, ada juga yang sibuk menghibur diri. Hani duduk di depan kelasnya mendengarkan sesuatu dari balik earphonenya, kemudian Verlita ternyata tiba – tiba datang dan menyapa.
“ Hai lit “ Hani membuka salah satu earphone dan membaginya ke Verlita. Terdengar lantunan ayat suci alquran dari sana. Hani juga kemudian mengambil permen karet dari balik saku dan memberikan salah satunya ke Verlita.
“Makasih ya “
“Iya, sama – sama. Ngilangin setres kaan “ Hani tersenyum. Ia tahu perasaannya saat ini panik. Karena tahu ia belum siap untuk ujian hari ini. “ Oh iya, kamu nyontek kah nanti?“ Lanjutnya bertanya ragu – ragu. Ia sebenernya juga masih khawatir, karena semua teman – temannya begitu sibuk belajar dan menyiapkan strategi mencontek karena takut akan sulit mendapatkan universitas nantinya.
Nilai adalah yang semua orang khawatirkan sekarang. Karena selembar kertas yang berisi nilai lah yang akan dilihat oleh semua universitas. Bukan proses. Mereka tidak peduli apakah kamu jujur mengerjakan UAN mu atau tidak. Tidak peduli apakah dalam tiga tahun sekolahmu kamu berusaha setengah mati atau sebailknya dengan mudah mencontek.
“Enggak laah. kamu enggak kan?” Tanya Verlita memastikan. Ia sudah bisa membaca kekhawatiran yang muncul di wajah Hani.
“emmm, iya.” Jawab Hani ragu. Verlita sudah berubah jauh dari yang dikira Hani. Ia sekarang menjadi sosok yang lebih tenang. Walaupun nilainya tidak pernah sebaik yang dulu lagi. Verlita terus tersenyum.
“Oh iya, Han, aku ikut bidik misi. Jangan lupa doakan aku yang banyak yaa. Oke”
Iya, selalu kudoakan.Batin Hani



Beberapa bulan kemudian

Aku sudah berada di satu kota yang ada di Kalimantan, mengambil les di salah satu bimbingan belajar, sedangkan Verlita masih ada di Jawa menunggu pengumuman kelulusan. Beberapa temanku memang ada yang tidak ikut bimbingan seperti ini kadang merasa tidak memerlukannya, ada juga yang memang tidak ikut karena tidak sanggup untuk membayar.
 Pengumuman UAN hari itu memuaskan, karena kami semua lulus. Beberapa temanku mendapatkan nilai sempurna, mendekati sempurna 90, dan lain – lain. Nilaiku termasuk yang paling jelek. sekitar 70-an. Tapi menurutku itu sudah lumayan. Untuk orang yang tidak pintar, sok tahu dan terus bersikeras untuk tidak curang.
Hanya saja. Sms itu muncul di hapeku. Verlita sangat kecewa. Nilainya merah dan sangat jatuh di bawah harapan. Nilainya yang dibawah 50 sangat tidak memungkinkan untuk masuk di universitas negeri. Orang tuanya kecewa. Karena ini semua tentu bisa menyulitkannya masuk ke universitas. Universitas negeri adalah satu – satunya pilihannya. Membayar kuliah di universitas swasta, ibunya tentu tidak sanggup membiayai, apalagi aku baru – baru tahu kalau ternyata ayah Verlita memang sudah meninggal. Sekolah di SMA boarding school, seperti di SMAku tentu merupakan keberuntungan baginya, karena itu berasal dari bantuan beasiswa.
Aku sangat sedih dan khawatir. Tidak bisa memberinya apa – apa selain semangat. Aku sangat merasa bersalah. Mungkin karena aku yang dari awal membuatnya mencoba pilihan yang sulit ini, untuk berusaha dan tidak berbuat curang. Mungkin aku yang salah, yang membuat masa depannya menjadi tidak jelas. Ia bisa jadi tidak lulus di universitas negeri. Kemudian kesana kemari ia mencari pekerjaan yang bisa membantu kehidupan keluarganya.
Aku sangat sedih. Lita pasti akan merasakan hal yang jauh lebih menyedihkan daripadi apa yang aku rasakan. Ini semua karena salahku yang sok baik dan sok bijaksana.



Beberapa bulan berlalu.

Aku sudah lupa soal nilai UAN. Bagiku itu tidak penting lagi. Yang kupikirkan sekarang adalah belajar sekeras mungkn untuk bisa masuk jalur SBMPTN Universitas Negeri. Malam ini sekitar jam 06.00 pengumuman jalur undangan SNMPTN sudah diumumkan. Pilihan utamaku ada pada salah satu universitas negeri di jawa. Membuatku tidak bisa menutupi rasa takut dan khawatirku. Membuatku aku menjadi terlalu takut untuk membuka website resmi untuk melihat pengumumannya.
Hapeku sejak tadi berdering. Semua teman – temanku, mencari kabar mengenai kelulusan teman – temannya yang lain.
Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan? Aku ndaa lulus haaaaaaan :’( bukan rejekinya mungkin ya.”
            “kamu sudah lihat pengumumankah han?”
            “Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
            Aku terdiam. Laptop sudah ada disampingku beserta modemnya, tapi aku tidak bisa bangun dari tempat tidur. Sesekali aku membaca sms lagi. Membalas sms mereka singkat.
            “Aku belum lihat.”
            Jantungku terus berdegup takut dan khawatir. Aku takut hasilnya tidak memuaskan. Aku takut kehilangan kursi di salah satu universitas favoritku. Hatiku gusar. Aku kemudian pergi solat, untuk menari ketenangan. Kemudian berdoa sungguh – sungguh. Membersihkan hati yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Tiba – tiba hapeku berbunyi lagi. Menandakan ada panggilan masuk. Aku kemudian segera meraih hape.
“Haaaaaaaaaaaaan” dari balik telepon sesekali kudengar isak tangis seseorang.
“Iya” suaraku bergetar. Entah apa yang ia ingin sampaikan. Tapi tanganku ikut bergetar, memegang telepon itu erat - erat.
“Haaaaan” terdengar isaknya. Ia menangis tidak bisa melanjutkan ceritanya.
“Iya kenapa lit” Mataku mulai berkaca – kaca. Meraba – raba apa yang akan di katakan olehnya. Verlita terus menangis, ia belum mengatakan apa – apa. Terdengar keheningan. Sesekali terdengar suara Verlita menangis.

“Aku lulus han” Ia terus menangis. Tidak bisa menahannya. Ya. Dia lulus. Alhamdulillah. Batinku berbisik. Aku terdiam mulai Tidak pernah menyangka. Pandanganku kabur. Terus mencoba mendengarkan suara dibalik telepon “Aku lulus haaan”. Pikiranku jauh dan merasakan apa yang dirasakan oleh orangtuanya, ia pasti bahagia. Sangat bahagia melihat anak sulungnya, anak yang akan menjadi tulang punggung keluarganya sudah mendapatkan apa yang selama ini mereka impikan. “Aku lulus di pilihan pertamaku” Tangisannya tak bisa ia tahan. Aku menangis terisak – isak ikut bahagia. “ITB Han” Lanjutnya. Tangiskupun mulai pecah. ITB, Universitas dambaannya, dambaan semua orang, termasuk aku. Aku sangat bahagia, rasa iri itu bahkan benar – benar hilang dari hatiku. Melihatnya lulus adalah kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada itu.
“Makasih ya Han, kamu sudah bikin aku seperti ini” Lanjut Verlita. Tangisnya mereda. Ia menungguku bicara. Tapi aku terus menangis, bahkan terisak – isak, tidak sanggup bicara. Aku kembali mengingat, bahwa sebenarnya dialah yang membuat aku seperti ini. Membuat aku semakin semangat belajar. Disaat akan ujian nasional aku sempat ingin bergerak untuk berbuat curang, dialah yang mengingatkanku akan kata – kataku sendiri. Dialah yang terus berjalan di garis – garis lurus yang pernah kubuat. Walaupun aku sempat menoleh untuk berjalan digaris lainnya. Terimakasih ya Allah, engkau sempat pertemukan aku dengan temanku ini dijalan lurusmu. Semoga aku bisa mendapatkan teman sepertinya lagi. Amin. Batinku menangis.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar