STRAIGHT
LINE
karangan: ny
based on a
true story
“Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan?”
“kamu sudah lihat pengumumankah?”
“Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
Hani terdiam.
Tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Sesekali Ia membaca sms lagi. Membalas
sms mereka singkat.
“Aku belum lihat.”
Ia kemudian
pergi solat. kemudian berdoa sungguh – sungguh. Membersihkan hatinya yang tidak
bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Namun tiba – tiba hapenya berbunyi lagi.
Seorang teman dekatnya menelpon, teman yang sangat menginspirasi baginya. Hani
mengangkat telepon itu, berbicara dengannya, dan meneteskan air mata.
2
Tahun Lalu.
Malam
itu, sudah sangat larut untuk sibuk – sibuk belajar. Tapi karena besok ada
ulangan penting dari guru penting, Hani, Verlita, dan Tati masih sibuk belajar.
Mulai dari buku tipis sederhana punya anak – anak SMA umumnya, sampai kebuku tebal
Campbell milik mahasiswa juga mereka pelajari. Karena soal – soal yang
dikeluarkan dari guru penting itu biasanya soal – soal dewa yang turun dari
langit. Angka 85 adalah angka tertinggi dalam sejarah angkatan kami yang pernah
didapat untuk soal – soal dari guru itu, namanya Ibu Sri.
Paginya, mereka semua
menunggu di depan laboratorium Biologi. Verlita dan Tati tidak henti membolak balik bukunya dengan
serius, tidak ingin waktunya terbuang percuma. Sedang yang lainnya sibuk
membuat catatan kecil contekan atau hanya sekedar membuat strategi mencontek.
“Lit,
Mau nggak kita janjian gak nyontek” Hani tersenyum sederhana. Ia melihat ke
wajah serius Verlita.
“Nggak
tau yaa Han” Verlita tertawa kecil “Ntar kucoba ya”.
Hari
itu memang ulangan mengenai pencernaan. Pelajaran Biologi terseru yang ada.
Semua menjadi sangat semangat menjawab pertanyaan essai yang di berikan Ibu Sri
untuk menjawab se detail – detail dan sejelas – jelas mungkin.
“Gimana
Lit, tadi jawab sendiri?”
Lita
tersenyum “ Iya Han “.
Esoknya
hari Sabtu, Verlita dan Hani pergi keluar asrama untuk mencari kebutuhan –
kebutuhan anak asrama di mall. Mengelilingi mall sampai waktu untuk kembali ke
asrama sudah dekat. Ketika mereka akan pulang, tiba – tiba Verlita baru ingat
adeknya yang sakit dirumah, hapenya yang daritadi ia silent ternyata penuh dengan misscall
dari ibunya. Hani dan Verlita kemudian segera mencari angkutan kota untuk
mengantarkan mereka ke rumah Verlita.
Sampai di depan jalan,
mereka kemudian berjalan melewati jalan – jalan kecil yang cukup jauh. Rumah
disekitar tempat itu terbuat dari kayu, berdempetan, penuh dengan semak-semak. Saat
itu sudah malam. Hani menunggu Verlita diluar rumah, mencoba sabar digigiti
nyamuk .
Perlahan
kemudian Ibu separuh baya keluar dari rumah itu.
“Masuk
nak, hari ini Verlita tidak bisa pulang dulu ke asrama. Kalian menginap disini
saja dulu , besok baru pulang, ya.” Ia berdiri di depan pintu, menunggu Hani
masuk kerumah.
“Oh.
Mm, Iya Tante.” Sahut Hani tidak yakin dalam hati. Ia kemudian perlahan masuk.
Rumah itu sangat sempit. Hanya ada tiga ruang kecil yang ada. Satu ruang kamar
mandi. Satu ruang utama. Dan satu ruang lagi yang tidak tahu isinya apa, ruangan
itu di tutupi oleh gorden merah yang cukup panjang untuk menutupi isinya. Adik
Verlita tidur di ruangan itu. Sementara mereka bertiga, tidur di ruang utama
yang sempit. Tidak ada tanda – tanda kehadiran ayah Verlita.
Satu
minggu kemudian, pengumuman nilai – nilai itu sudah ada. Semuanya hampir
mendapatkan nilai yang memuaskan. Ini mungkin karena pelajaran mengenai
pencernaan memang yang paling enak, seru, jadi mereka bisa menjawab dengan
baik. Ya, seperti biasa nilai Hani hanya mencapai nilai standar 79. Tapi itu
sudah termasuk bagus. Tati, si cewek paling rajin hanya diam duduk dikursinya
senyum – senyum malu melihat kertas ujiannya.
“Dapat
berapaa Tat?” Hani bertanya dengan nada memaksa. Ia sudah harus siap – siap
cemburu karena Tati biasanya mendapatkan nilai yang lebih bagus.
“
89 Haaaan. Kamu berapaa? “ Senyumnya lebar.
“Lebih
jelek kok. 79. Selamatnyaa” Ucapnya setengah tidak ikhlas, tapi Hani hanya
terus berusaha tersenyum bahagia.
“Lit,
kamu dapat berapa?” Tati bertanya dengan sedikit nada sombong.
Ia
menyodorkan kertasnya dengan tersenyum.
“Cieeeeeeeeeee,
litaaa” Hani tersenyum puas. Verlita yang baru pertama kali mencoba tidak
mencontek, untuk pertama kalinya dalam sejarah angkatan, ia bisa mendapatkan
nilai sempurnanya, seratus.
Sejak
saat itu. Hani dan Verlita terus semangat belajar. Dan mengobarkan bendera ‘Say
no to nyontek’ di dada mereka. Walaupun satu kelas menyontek. Mereka berdua
adalah yang paling kalem di kelas. Semenjak saat itu, Verlita menjadi semangat
dan tidak pernah menyontek lagi. Namun semenjak itu pula, lama – kelamaan nilai
Verlita menjadi semakin menurun, ia menjadi sering remidi dan mendapatkan nilai
merah.
“
Han, aku remidi lagi.” Verlita terduduk di bangku. Ia yang tiba – tiba datang
ke kamar Hani sudah membendung air matanya. Ia sudah lama menjadi down dan tidak semangat belajar lagi.
Air matanya sudah hampir mengalir.
Hani
menatapnya lekat – lekat. Mencoba mengerti perasaannya.
“Lit, aku juga pernah
ngalami gitu juga kok. Sama kayak kamu. Kelas satu dulu, aku itu master nyontek,
lebih parah nyonteknya daripada kamu.
Teman – teman nda ada
yang berani buka buku pas Ibu Sri yang ngasi ulangan, tapi aku selalu berani.
Semua macam trik nyontek pernah kupake. Dari bikin catatan kecil sampai coret –
coret di tangan aku juga sudah biasa banget, sudah ahli. Ibu Sri itu sudah
sampai tahu aku itu paling rajin nyontek. Aku dulu yang paling sering ditegur.
Walaupun sekarang aku sudah nda pernah nyontek lagi, aku masih sering ditegur.
Mungkin karena Ibu Sri nda percaya lagi sama aku.” Hani kemudian terdiam. Ia
kemudian mengambil posisi di samping Verlita.
“Tapi pas aku mau
ulangan mengenai Fungi Jamur. Aku nda ada ngerti apa – apa sama sekali mengenai
jamur. Malam sebelum ulangan, tumben – tumbennya aku mau belajar bener – bener,
sampai akhirnya aku pergi minum kopi. Terus aku pergi belajar sama Ifa. Kalo
ada yang aku bingung aku tanya sama dia, kalo aku ngantuk, dia bangunin lagi.”
Lanjut Hani.
“Oooh. pantesan nilai
Ifa selalu bagus. Ternyata dia rajiiin banget ya” Tandas Verlita, ia mulai
memperhatikan Hani dengan serius.
“Besoknya, aku coba – coba untuk ngerjakan
ulangan sendiri. Karena aku pikir, belum tentu aku nyontek aku bakal dapat
nilai yang lebih bagus. Mending aku jujur aja. Paling nilaiku kurang lebih sama
nilai orang yang nyontek. Akhirnya ulangannya aku kerjakan sendiri sampai
selesai.
Pas pengumuman. Untuk
pertama kalinya aku dapat nilai 85 dari hasil belajarku sendiri. Kadang aku
nyontek aja belum tentu aku dapat segitu. Rasanya itu asik banget, kita bisa
dapat nilai yang bagus dengan usaha kita sendiri. Itu sudah luar biasa banget.
Semenjak itu, aku tekad. Aku ga mau nyontek lagi. Sampai sekarang.
Aku juga pernah ngalami
masa-masa down kayak kamu. Bahkan
lebih parah. Pas itu, kita sempat ada mid semester kacau. Ulangan kita nda
tentu. Satu hari bisa satu sampai tiga yang diulangankan. Semua ulangan
bermepetan. Nda sempat belajar semua. Nilaiku hancuur sekali. Sampai aku drop
karena demam tinggi saking capeknya. Capek belajar, capek batin juga. Di satu
sisi aku belajar di sisi lain aku kepikiran sama remedi-remediku yang sudah
numpuk. Di antara temen-temen yang lain aku yang paling banyak remidinya. Ulangan
Matematika, teman-teman semuanya nda ada yang remidi, cuma aku yang remidi.
Tapi nda apa. Aku konsisten. Aku tetap usaha sendiri. Kerjakan sendiri. Sampai
sekarang, aku sudah jadi biasa. Nilaiku sekarang juga sudah mulai konstan. Yang
penting kita usaha, belajar. Nilai itu nda penting. Yang penting itu adalah
proses untuk mendapatkan nilai itu. Apakah kita sudah pantas atau tidak untuk
dapat nilai itu.” Terang Hani.
“Semaangat Lita” Senyum
Hani. Ia mengepalkan tanganya kuat kuat. “Semangaaat!” Lanjutnya lagi.
Verlita tersenyum. Ia
akhirnya tetap konsisten. Hani dan Lita kemudian menjadi semakin dekat menjadi
semakin sering pula saling menasehati, terutama masalah agama.
Kelas tiga sudah
dimulai, mereka tidak sekelas lagi. Hani sudah mendapatkan teman-teman barunya,
begitupula Verlita. Tapi Hani merasa
Verlita adalah temannya yang paling memberikan semangat. Hani menjadi
tidak terlalu rajin lagi belajar. Sesekali mereka bertemu dan curhat. Lita
selalu memberikan motivasi untuk Hani.
“Ayo semangat Han,
jangan malas belajar karena kita nggak sekelas lagi. Bersandar sama Allah.
Jangan bersandar sama aku. Kita kan nggak selamanya sama – sama.” Senyum
Verlita memberikan semangat. “Semangaat.. Semangaat.. Semangaat “ Velita
mengepalkan tangan untuk meyakinkan Hani.
Hani tersenyum dan
mencoba berusaha kembali.
UAN semakin dekat.
Semua orang sibuk mencari strategi mencontek. Hani tidak pernah tega tidak
memberikan jawaban kepada orang yang menanyakan jawaban kepadanya. UAS pun Hani
jalani dengan murni menggunakan jawaban sendiri. UAN kali ini, Hani ikut dalam
strategi mencontek. Ia ikut dalam strategi ini tidak untuk mencontek jawaban
temannya, tapi untuk diconteki. Ia selalu memberikan jawabannya tanpa meminta
jawaban balik. Ia tahu ini salah. Tapi ia tidak pernah benar-benar merasa tega.
Jam 09.00 pagi UAN hari
pertama sudah dimulai. Anak-anak sudah duduk di depan kelas masing – masing,
ada yang sibuk belajar, ada juga yang sibuk menghibur diri. Hani duduk di depan
kelasnya mendengarkan sesuatu dari balik earphonenya, kemudian Verlita ternyata
tiba – tiba datang dan menyapa.
“ Hai lit “ Hani
membuka salah satu earphone dan membaginya ke Verlita. Terdengar lantunan ayat
suci alquran dari sana. Hani juga kemudian mengambil permen karet dari balik
saku dan memberikan salah satunya ke Verlita.
“Makasih ya “
“Iya, sama – sama.
Ngilangin setres kaan “ Hani tersenyum. Ia tahu perasaannya saat ini panik.
Karena tahu ia belum siap untuk ujian hari ini. “ Oh iya, kamu nyontek kah
nanti?“ Lanjutnya bertanya ragu – ragu. Ia sebenernya juga masih khawatir,
karena semua teman – temannya begitu sibuk belajar dan menyiapkan strategi
mencontek karena takut akan sulit mendapatkan universitas nantinya.
Nilai adalah yang semua
orang khawatirkan sekarang. Karena selembar kertas yang berisi nilai lah yang
akan dilihat oleh semua universitas. Bukan proses. Mereka tidak peduli apakah
kamu jujur mengerjakan UAN mu atau tidak. Tidak peduli apakah dalam tiga tahun
sekolahmu kamu berusaha setengah mati atau sebailknya dengan mudah mencontek.
“Enggak laah. kamu
enggak kan?” Tanya Verlita memastikan. Ia sudah bisa membaca kekhawatiran yang
muncul di wajah Hani.
“emmm, iya.” Jawab Hani
ragu. Verlita sudah berubah jauh dari yang dikira Hani. Ia sekarang menjadi
sosok yang lebih tenang. Walaupun nilainya tidak pernah sebaik yang dulu lagi.
Verlita terus tersenyum.
“Oh iya, Han, aku ikut
bidik misi. Jangan lupa doakan aku yang banyak yaa. Oke”
Iya,
selalu kudoakan.Batin Hani
Beberapa
bulan kemudian
Aku sudah berada di
satu kota yang ada di Kalimantan, mengambil les di salah satu bimbingan belajar,
sedangkan Verlita masih ada di Jawa menunggu pengumuman kelulusan. Beberapa
temanku memang ada yang tidak ikut bimbingan seperti ini kadang merasa tidak
memerlukannya, ada juga yang memang tidak ikut karena tidak sanggup untuk
membayar.
Pengumuman UAN hari itu memuaskan, karena kami
semua lulus. Beberapa temanku mendapatkan nilai sempurna, mendekati sempurna
90, dan lain – lain. Nilaiku termasuk yang paling jelek. sekitar 70-an. Tapi
menurutku itu sudah lumayan. Untuk orang yang tidak pintar, sok tahu dan terus
bersikeras untuk tidak curang.
Hanya saja. Sms itu
muncul di hapeku. Verlita sangat kecewa. Nilainya merah dan sangat jatuh di
bawah harapan. Nilainya yang dibawah 50 sangat tidak memungkinkan untuk masuk
di universitas negeri. Orang tuanya kecewa. Karena ini semua tentu bisa
menyulitkannya masuk ke universitas. Universitas negeri adalah satu – satunya pilihannya.
Membayar kuliah di universitas swasta, ibunya tentu tidak sanggup membiayai,
apalagi aku baru – baru tahu kalau ternyata ayah Verlita memang sudah meninggal.
Sekolah di SMA boarding school, seperti
di SMAku tentu merupakan keberuntungan baginya, karena itu berasal dari bantuan
beasiswa.
Aku sangat sedih dan
khawatir. Tidak bisa memberinya apa – apa selain semangat. Aku sangat merasa
bersalah. Mungkin karena aku yang dari awal membuatnya mencoba pilihan yang
sulit ini, untuk berusaha dan tidak berbuat curang. Mungkin aku yang salah,
yang membuat masa depannya menjadi tidak jelas. Ia bisa jadi tidak lulus di
universitas negeri. Kemudian kesana kemari ia mencari pekerjaan yang bisa
membantu kehidupan keluarganya.
Aku sangat sedih. Lita
pasti akan merasakan hal yang jauh lebih menyedihkan daripadi apa yang aku
rasakan. Ini semua karena salahku yang sok baik dan sok bijaksana.
Beberapa
bulan berlalu.
Aku sudah lupa soal
nilai UAN. Bagiku itu tidak penting lagi. Yang kupikirkan sekarang adalah
belajar sekeras mungkn untuk bisa masuk jalur SBMPTN Universitas Negeri. Malam
ini sekitar jam 06.00 pengumuman jalur undangan SNMPTN sudah diumumkan. Pilihan
utamaku ada pada salah satu universitas negeri di jawa. Membuatku tidak bisa
menutupi rasa takut dan khawatirku. Membuatku aku menjadi terlalu takut untuk
membuka website resmi untuk melihat pengumumannya.
Hapeku sejak tadi
berdering. Semua teman – temanku, mencari kabar mengenai kelulusan teman –
temannya yang lain.
“Hani, sudah lihat pengumumaaaaaan? Aku ndaa lulus haaaaaaan :’( bukan
rejekinya mungkin ya.”
“kamu sudah lihat pengumumankah
han?”
“Haaaaaaaan, kamu luluskaah?”
Aku terdiam. Laptop
sudah ada disampingku beserta modemnya, tapi aku tidak bisa bangun dari tempat
tidur. Sesekali aku membaca sms lagi. Membalas sms mereka singkat.
“Aku belum lihat.”
Jantungku terus
berdegup takut dan khawatir. Aku takut hasilnya tidak memuaskan. Aku takut
kehilangan kursi di salah satu universitas favoritku. Hatiku gusar. Aku
kemudian pergi solat, untuk menari ketenangan. Kemudian berdoa sungguh –
sungguh. Membersihkan hati yang tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Tiba – tiba hapeku
berbunyi lagi. Menandakan ada panggilan masuk. Aku kemudian segera meraih hape.
“Haaaaaaaaaaaaan” dari
balik telepon sesekali kudengar isak tangis seseorang.
“Iya” suaraku bergetar.
Entah apa yang ia ingin sampaikan. Tapi tanganku ikut bergetar, memegang
telepon itu erat - erat.
“Haaaaan” terdengar
isaknya. Ia menangis tidak bisa melanjutkan ceritanya.
“Iya kenapa lit” Mataku
mulai berkaca – kaca. Meraba – raba apa yang akan di katakan olehnya. Verlita
terus menangis, ia belum mengatakan apa – apa. Terdengar keheningan. Sesekali
terdengar suara Verlita menangis.
“Aku lulus han” Ia terus menangis. Tidak bisa menahannya. Ya. Dia lulus. Alhamdulillah. Batinku berbisik. Aku terdiam mulai Tidak pernah menyangka. Pandanganku kabur. Terus mencoba mendengarkan suara dibalik telepon “Aku lulus haaan”. Pikiranku jauh dan merasakan apa yang dirasakan oleh orangtuanya, ia pasti bahagia. Sangat bahagia melihat anak sulungnya, anak yang akan menjadi tulang punggung keluarganya sudah mendapatkan apa yang selama ini mereka impikan. “Aku lulus di pilihan pertamaku” Tangisannya tak bisa ia tahan. Aku menangis terisak – isak ikut bahagia. “ITB Han” Lanjutnya. Tangiskupun mulai pecah. ITB, Universitas dambaannya, dambaan semua orang, termasuk aku. Aku sangat bahagia, rasa iri itu bahkan benar – benar hilang dari hatiku. Melihatnya lulus adalah kebahagiaan yang jauh lebih besar daripada itu.
“Makasih ya Han, kamu
sudah bikin aku seperti ini” Lanjut Verlita. Tangisnya mereda. Ia menungguku
bicara. Tapi aku terus menangis, bahkan terisak – isak, tidak sanggup bicara.
Aku kembali mengingat, bahwa sebenarnya dialah yang membuat aku seperti ini.
Membuat aku semakin semangat belajar. Disaat akan ujian nasional aku sempat
ingin bergerak untuk berbuat curang, dialah yang mengingatkanku akan kata –
kataku sendiri. Dialah yang terus berjalan di garis – garis lurus yang pernah
kubuat. Walaupun aku sempat menoleh untuk berjalan digaris lainnya. Terimakasih ya Allah, engkau sempat
pertemukan aku dengan temanku ini dijalan lurusmu. Semoga aku bisa mendapatkan
teman sepertinya lagi. Amin. Batinku menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar